Wednesday, November 16, 2011

RESENSI FILM: The Confession of Shopaholic

Oke, memang saya telat nonton film ini. Saya baru menontonnya kemarin bersama suami, dan kami tertawa bersama-sama. Tapi kalau novelnya sudah saya baca sejak baru terbit. Memang lucu dan seru. Pantaslah jika tertawa.

Mengapa tertawa? Aaah… film dan novelnya memang mencerminkan kebodohan kita, dengan pengkhususan, WANITA. Siapa wanita di dunia ini yang tidak suka belanja? Belanja itu seperti salah satu sifat wanita. Semua wanita PASTI suka belanja. Seandainya punya uang sebanyak Paman Gober, mesti tidak bakal punya gudangnya, karena uangnya habis dibelanjakan, hehehe….

Nah. Ini dia kelemahan saya. Saya lupa siapa nama tokoh utamanya, tapi ingat nama cowoknya dan nama penulis novelnya, qiqiqi…. Akhirnya, googling dulu deh. Oya, Rebecca Bloomwood, si gila belanja itu. Ampun, deeeh… betapa mudahnya tergiur oleh promo belanja, diskon, sale…. Meski sebenarnya pakaian, sepatu, tas, dan barang-barang brandednya sudah menumpuk di kamarnya. Bahkan ia lupa kapan membeli barang-barang itu dan ada barang yang belum pernah dipakainya sama sekali. Bencana terjadi ketika kantornya bangkrut, dia di PHK, sementara dia punya tagihan kartu kredit yang menyentuh angka 160 juta rupiah (setelah dikurskan dari dolar ke rupiah). Bagaimana dia bisa membayar hutang kartu kreditnya dengan status jobless??? Itu dia… aku juga ikut bingung. Masalahnya, jumlah sebanyak itu ternyata Cuma dibelanjakan barang-barang kebutuhan wanita, seperti sepatu, tas, dan baju, yang tidak punya nilai investasi. Beda kalau dibelikan rumah atau mobil, bisa dijual lagi, bahkan bisa dapat keuntungan.

Secara pribadi, aku sendiri juga suka belanja. Satu-satunya hambatan adalah tidak punya uang. Mungkin, jika aku punya pekerjaan tetap dan kartu kredit, aku pun akan memuaskan nafsu belanjaku seperti Becki (Rebecca). Dulu, waktu masih ngantor, setiap gajian aku pasti ke ITC Depok (berhubung kantornya di Depok). Beli baju, perawatan kecantikan, dan lain-lain. Aku juga beli buku untuk mengupgrade otak. Kan kita butuh beauty, brain, and behavior….

Setelah berhenti kerja, baru deh aku merasa menderita. Uang yang dititipi oleh suami hanya cukup buat belanja kebutuhan rumah tangga. Kalaupun ada sisanya, kan harus minta ijin dulu sama suami. Boleh gak beli ini, itu, dan lain-lain? Berhubung kami sedang membangun rumah, banyak kebutuhan lain yang harus dikorbankan, termasuk kebutuhan wanitaku. Aku pernah tidak beli baju baru saat lebaran idul fitri (itu artinya, setahun itu aku gak punya baju baru), karena THR suamiku habis untuk membayar THR tukang bangunan.

Kegemaran belanja Becki sebenarnya berpulang dari kondisi psikis dia yang baru bisa gembira jika berbelanja. Intinya, kalau sedang sedih, obatnya adalah belanja. Padahal, kesedihannya itu diakibatkan oleh kejaran debt collector. Jadi ingat sama kasus terbunuhnya nasabah Citi Bank oleh debt collector.
Alhamdulillah, aku gak punya kartu kredit. Suamiku yang punya, tapi hanya dia yang bisa pakai. Itupun untuk kebutuhan pokok. So, aku merasakan yang namanya sedih, kesal, kecewa, dan sebagainya, karena hanya bisa cuci mata di ITC atau melihat barang dagangan yang terpampang di internet. Of course… bukan pedagangnya yang salah. Berdagang adalah warisan nabi, bahkan jenis pekerjaan yang utama. Aku sendiri sebagai calon customer yang harus bisa memilah-milah. Bagaimana supaya tidak jadi gila belanja seperti Becki yang membuatnya dikejar-kejar debt collector?

Sejujurnya, aku selalu merasakan perasaan ini. Setiap habis membeli barang, entah baju, tas, sepatu, pasti aku merasa menyesal. Mengapa barang ini jadi jelek ya setelah sampai di rumah? Perasaan tadi di toko kelihatan bagus? Ibu-ibu pernah merasakan itu juga?

Aku pernah membeli barang-barang dari garage sale yang diadakan seseorang. Ternyata dia punya kegemaran belanja yang cukup over juga seperti Becki. Ada barang-barang yang sebenarnya tidak dia butuhkan, tapi dibeli juga. Toh, akhirnya tidak terpakai dan dijual obral. Nah, menurut ibu-ibu, itu sama saja dengan mubajir, kan? Barang itu tidak pernah dia pakai, karena ternyata tidak cocok dengannya, dan akhirnya dijual murah. Berarti dia telah rugi sejumlah nominal tertentu.

Padahal, orang yang berlaku mubajir itu temannya setan. Ada ayatnya di dalam Al Quran, tapi cari sendiri ya, Bu…. Naudzubillahimindzalik…. Intinya, semua uang yang kita belanjakan, terlebih uang suami, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak. Uang itu buat beli apa? Apakah barangnya kemudian berguna?

Mengapa Sophie Kinsella (penulis novelnya) menokohkan karakter gila belanja itu kepada Becki yang seorang wanita? Karena memang lebih banyak wanita yang suka belanja hal-hal yang tidak penting, daripada laki-laki.

Belanja tidak salah, tapi tetap harus lihat prioritas. Cengkaraman materialistis dan konsumerisme sudah begitu kuat. Kalau beli majalah wanita modern, isinya baju-baju mewah, sepatu, tas, aksesoris melulu. Boleh saja punya dan beli, tapi lihat kebutuhan. Jangan sampai kita membeli barang yang nantinya tidak terpakai.

Kosmetik atau make up juga begitu. Allah menyukai keindahan, jadi jika niatnya untuk menjadi indah, tentu termasuk ibadah. Tapi, kalau sudah menjadi tabarruj, berhias yang berlebihan, akan jatuh ke dalam dosa. Pernah lihat perempuan yang make upnya kayak Geisha Jepang, kan?
So, kita lihat lagi prioritas sebelum berbelanja ya, Bu….  

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...